“ Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”- Pramoedya A. Toer
Sebut saja, Gate Corner. Sebuah tempat sederhana, lahirnya aneka cerita yang bertumbuh menjadi romantisme perjalanan dan dinamika organisasi--terekam dari setiap kemesraannya. Terletak di lantai dasar Pusat Kegiatan Mahasiswa UNM, tepat di sisi sudut gazebo yang remang-remang. Tempat yang mengubur ekslusifitas dengan dialog hingga percakapan biasa-biasa saja. Tidak ada hal spesifik tentang keistimewaan mengenai tempat ini, begitu sederhana, kecuali dinding yang di cat berwarna hitam dengan aksen hijau gelap, mirip warna lumut yang samar-samar.
Namun, di balik romantisme itu, sebenarnya adalah bagian dari saksi bisu rangkaian panjang perjalanan hidup dan pemaknaaan sebuah identitas setiap generasi dari Sintalaras. Menyaksikan setiap tonggak di wariskan---gagasan besar bersama cita-cita yang dapat diraih ataupun setiap langkah-langkah keliru yang kemudian meninggalkan jejak-jejak kecewa duka lara dalam peristiwa ”nir intelektualitas” yang berkamuflase dalam tawa-tawa yang arogan. Demikian saya menyebutnya generasi hijau yang gelap---masih tersisa secerca cahaya bernama harapan untuk sebuah perubahan yang reformis dan flexibel dalam upaya melahirkan habit yang sehat dan berkemajuan.
Sejenak, seolah kita menyaksikan tumbuh kembang seorang bayi dengan segala keluguan dan proses belajar ; bagaimana ketika belajar merangkak, mengeja nama, hingga setiap tangis yang maknanya hampir selalu berubah. Ngompol atau menghamburkan mainan ke seluruh ruangan dan di saat yang sama begitu menghibur, menggemaskan karena memang kelucuan gerak geriknya sekaligus mengharukan. Begitu panjang jalan yang telah ditempuh, secara estafet dari masa ke masa oleh masing-masing penghuninya.
Jejak jejak itu membekukan diri di dalam ingatan setiap kita menjadi memori, cair oleh kerinduan yang mengusik di malam-malam yang sunyi, ketika nama-nama yang tersimpan di kepala tiba-tiba menyeruak ke permukaan dalam insomnia yang berkepanjangan. Kerinduan yang tentunya bukan hanya milik mereka yang pernah mengukir peristawa dari gedung lama Pusat Kegiatan Mahasiswa kampus UNM Parangtambung (kini menjadi gedung dekanat FT UNM), Kompleks Tabaria dan sekarang di sekretariat gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa kampus UNM Gunung Sari, pojok sisi barat gedung. Hari ini beberapa nama mungkin secara fisik telah terpisah jarak yang jauh. Tetapi daya tarik yang begitu kuat juga selalu menyeret mereka yang masih ada di sekitarnya, untuk selalu menambah dan menambah variasi jejak yang tercipta. Jiwa-jiwa muda dengan semangat yang selalu bergelora itu sekarang menempa diri dari konflik hingga dinamika proses yang melelahkan sekaligus menyenangkan dalam suatu cara menikmati yang berbeda, disaksikan bisu oleh Ruang Office tempat forum-forum menyaksikan dirinya bergejolak. Menapak selangkah demi selangkah, mematangkan jiwa dan memerdekakan pikiran---tentu saja mengisi rongga-rongga memori kehidupan. Menjadi salah satu bagian kepingan panjang, dari kesaksian jiwa pada setiap ruang yang di kira mati di alam ini. Seperti bagaimana Chairil Anwar dalam Sajak Putih menuliskan puisi kepada Mirat. Sebuah romantisme magis dengan membangkitkan semangat ketika keadaan seolah membuat kita direndahkan dunia—dan membangkitkan cinta serta gairah hidup penuh tenaga.
Waktu ke waktu, detik melintasi masa. juga ruang dimana orang-orang silih berganti. Ada yang datang, ada yang berlalu. Cerita dan kenangan akan semakin panjang seiring yang terus berganti. Tentu saja, setiap kita memiliki kisah dan memori masing-masing, yang sebagian sudah kabur di telan usia, sebagian lagi begitu selalu segar dalam ingatan. Dalam kerangka teori relativitas Albert Einstein kemudian menerangkan bahwa ruang dan waktu menyatu dalam satu kesatuan yang disebut ruang-waktu, di mana gravitasi bukan sekadar gaya tarik, tapi kelengkungan ruang dan waktu itu sendiri---demikian romantisme Gate Corner seolah bergerak cepat melintasi nama bersama generasi yang tidak pudar bersama semangat. Waktu, dalam pemikiran Einstein, tidak berdetak sama di segala penjuru semesta; ia lentur, dapat dibengkokkan, dan tidak lagi bersifat absolut seperti dalam pandangan Newtonian. Pandangan ini merevolusi cara manusia memahami semesta—bukan lagi sebagai panggung pasif, tetapi sebagai medan dinamis yang saling memengaruhi. Begitupula kita mereduksi panggung-panggung diskusi di sudut-sudut sekret yang bergantikan dengan botol minuman (suatu waktu berbau alkohol) adalah manifestasi pedagogi yang saling terkoneksi dengan kegiatan normatif yang ”itu-itu saja” menjelma suatu kebosanan---krisis interpretasi. Hal ini bersifat mutlak dan dapat di baca dari siklus pasif tanpa terjalinnya habit simbiosis mutualisme aktif terhadap pengembangan skill anggota, demikian pemahaman utuh tentang alasan hingga aktivitas yang berorientasi pada basic kegiatan organisasi, beruntung jika stagnan, bagaimana jika hal tersebut justru yang mendorong kemunduran, demikian pada lirik-lagu feast yang berjudul ”kami belum tentu”
Dalam pergejolakan dunia yang kian kompleks dan sarat persoalan lingkungan, entah berbagai kebijakan pemerintah hingga kelalaian tiap individu. Organisasi seperti kita, Sintalaras UNM, yang secara jelas menyatakan sikapnya melalui visi misi yang termaktub dalam pedoman organisasi harusnya melakukan pendekatan ilmiah dengan menjadikan pijakan penting dalam membentuk sikap organisasi pencinta alam yang reflektif dan kritis. Kita dapat bercermin pada teori-teori barat, hipotesa-hipotesa praduga, seperti pemikiran Auguste Comte tentang positivisme—yang menempatkan pengetahuan empiris dan observasi sebagai dasar kemajuan manusia—memberi inspirasi bagi organisasi untuk membangun budaya bertindak berdasarkan data, bukan asumsi atau dogma. Dalam kerangka ini, organisasi pencintaalam seperti kita harus membuka ruang yang semakin inklusif---tidak hanya menjadi pelaku konservasi, tetapi juga laboratorium hidup yang memupuk kader-kader intelektual: mereka yang aktif bertanya, menguji, dan merefleksi.
Semangat bertanya itu bukan sekadar mencari jawaban, tetapi juga menyingkap lapisan-lapisan makna, sebagaimana digambarkan dalam teori simulakra Jean Baudrillard, yang menunjukkan bahwa dalam dunia modern realitas sering tertutupi oleh lapisan representasi dan citra semu. Maka, demi pertumbuhan kader berdarah Sintalaras, pelaku pencintaalam yang harus dibentuk adalah insan yang mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang sekadar konstruksi belaka. Dari sinilah lahir partisipasi organisasi yang bukan hanya reaktif terhadap isu, tetapi mampu menyusun pemahaman kritis dan membentuk budaya diskursus yang sehat. Dengan demikian, integrasi positivisme Comte dan kesadaran terhadap ilusi simbolik ala Baudrillard mendorong organisasi kita menjadi gerakan yang berpijak pada kenyataan, namun selalu mawas terhadap bentuk-bentuk penyimpangan makna di baliknya—melahirkan generasi yang tidak hanya peduli, tetapi juga sadar dan cerdas secara sosial-intelektual.
Disinilah pemahaman semiotika ala Roland Barthes memperkuat arah gerak organisasi ini: bahwa setiap simbol, narasi, bahkan tindakan “mencintai alam” memiliki makna ganda yang bisa dimaknai secara ideologis sehingga mampu membaca tanda, mengkritisi makna, dan tidak terjebak dalam mitos buatan yang oleh beberapa oknum di buat seolah sebagai citra suatu organisai pencintaalam ; harus seperti demikian---sebuah rekonstruksi dari sejarah usang yang kaya akan ”hegemoni buta”. Dan pada akhirnya, Sintalaras sebagai wadah yang sehat dan punya sikap oposisi harus menjadi ruang dialektika antara yang ilmiah, yang nyata, dan yang tersembunyi—untuk melahirkan kader yang tidak hanya peduli, tetapi juga cakap membaca zaman secara kritis dan membumi, demikian penulis mencoba meramunya dalam suatu kalimat ”A NEW GENERATION OF SINTALARAS DETERMINES THE SILENT PATH”.
Alviandi (Binocular XXXV)
Humas Periode 2024-2025
Makassar, 24 Juni 2025.
.
Komentar
Posting Komentar