SURAT KEPADA GIE
Apa kabarmu, Gie
?
Lama sudah tak
ku dengar tentangmu. Tentang
cerita-cerita gerakan revolusioner mu yang militan atau sabda sabdamu yang
agungkan oleh mahasiswa.
Kau sekarang
menjadi legenda, Gie.
Kisah hidupmu
semasa mahasiswa di filmkan. Wajahmu di cetak menjadi ikon gerakan mahasiswa,
nama mu menjadi narasi eksistensi kaum akademisi sayap kiri. Dan karya-karya puisimu di sukai banyak
mahasiswi.
Kau hebat, Gie. Apakah kau mengenal saya ?
Pertama kali kau
menyapaku dalam bukumu, yang mereka beri judul catatan seorang demonstran.
Awalnya, ku kira kau sebagai pedagang Cina yang masuk kuliah di UI, namun
mengapa kau tertarik belajar sejarah & sastra. Gie ?
Ada banyak hal
yang ingin aku ceritakan Gie, mulai dari alasan kematianmu juga rahasia besar
tentang kudeta yang belum sempat kau kabarkan kepada kami, sebelum cinta
mengambil nyawa dari jasadmu Gie. Katanya,
kau tidak suka Sukarno yang glamor dengan mengawini banyak istri dalam proyeksi
Nasakomnya, di tengah caruk Maruk rakyat yang mengemis karena kelaparan.
Kau pernah
lantang menolak angkatan bersenjata Republik Indonesia dalam kegiatan negara.
Tapi kau menjadikan mereka sekretaris rahasiamu untuk setiap aksi gerakan
demonstrasi ? Di banding sedang saat
ini, reformasi Indonesia masih dalam mental feodal dan upeti. Kemana kami harus
menuntut dan mengadu saat ini, kami tak lagi punya Soekarno. Kami hanya
memiliki presiden, tapi tak punya pemimpin.
Ku kira aku
sedang kacau, Gie.
Reformasi hanya
menjadikan para koloni semakin berjejer rapi dengan senjata yang siap
menyingkirkan apa saja di depannya, dan mahasiswa yang juga tak kalah arogannya
& menjilat apa saja demi kekuasaan. Sebelum akhirnya berdasi dan bermobil,
mereka benar-benar telah mengingkari sejarah nilai perjuangan menantang
kapitalisme. Sebagai budak birokrasi yang di butakan oleh hegemoni.
Sedang harga
barang masih mahal dan selalu saja jauh dari kata manusiawi, nasionalisme &
patriotisme kini hanya di miliki oleh militer. Mahasiswa yang kau rindukan,
kini tak lagi hidup dalam lingkaran lingkaran kecil yang merawat diskusi,
mereka telah buta pada nilai-nilai. Perpustakaan telah di gantikan, oleh layar
lcd, goyang sana-sini, berita-berita selebriti, atau hal-hal viral yang menjadi
dalang sembunyi kasus korupsi.
Apakah kau tahu,
kini seorang mahasiswa sudah tidak lagi berdiri di garda terdepan. Bersuara
perlawanan yang lantang, Idealisme telah tergantikan oleh manisnya kehidupan
hedonis.
Generasi
mahasiswa kini semakin galau, sibuk mencari eksistensinya masing-masing. Lebih
sering memamerkan diri di postingan Instagram bersama kemewahan dunia seperti
prilaku para Borjuis. Ku pikir kau akan gila, Gie. Jika memikirkan pikiranku,
Generasi Sosmed.
Yang kini masih
ku pikirkan, Tentang apa maksudmu berkata bahwa..."Lebih Baik Diasingkan, Daripada Menyerah Pada
Kemungkinan". Saya tahu Gie. kau ingin melihat mahasiswa-mahasiswa saat
ini, jika sekiranya ia mengambil keputusan yang mempunyai arti
"politis", walau bagaimana kecilnya selalu berada pada prinsip yang
dewasa. Seperti caramu dalam menentang kepentingan yang memiskinkan. Atau
seorang mahasiswa yang berani mengatakan benar sebagai kebenaran, salah sebagai
kesalahan. Bukan atas kepentingan bendera ormas sayap mereka yang tidak
menerapkan kebenaran sebagai keseragaman, tokoh, atau oleh apapun itu. Dan itu
utopis, Gie. Banyak dari mereka yang memanfaatkan aktivisme sebagai oportunis
yang masuk parlemen.
Saya tetap
tertarik dengan cerita petualangan, Gie. Sebagai mahasiswa setelan tahun 60'an
yang kurus kering dan mencintai petualangan, setiap pendakian dan pemikiran
yang kau bawa ketika berpetualang. Sebab saya setuju dengan alasanmu naik
gunung, kau menuliskan puisimu tentang lembah Mandalawangi, tentang padang
edelweis yang katanya beracun, atau tentang narasi konsepsimu yang dinamis
sebagai alasanmu naik gunung. Izinkan saya mengulangnya :
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami.
Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan.
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang
hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat jika ia mengenal obyeknya. Dan
mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan memperkenalkan Indonesia
bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda juga
harus berarti pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung”
Anggota Biro Humas Periode 2024
Alviandi
Komentar
Posting Komentar