Univerisitas
Negeri Makassar sebagai kampus dengan label strata yang banyak melahirkan
tenaga pendidik atau pelaksana pendidikan dengan suatu konsep yang kami sebut
taman ilmu---tempat kesadaran kritis dan moralitas publik bertumbuh. Namun, di
tengah gelombang persoalan politik birokrasi dan cita-cita menjadi PTN-BH,
sehingga pembangunan dan modernisasi yang terjadi dalam almamater ini justru
kehilangan akar ekologisnya. Di atas lahan yang dulunya hijau, gedung-gedung
baru berdiri dengan label arsitektur modern yang mencoba memadukan spirit
kebudayaan maritim sulawesi selatan terpampang di depan kita. Ironi itu semakin
terasa ketika lembaga yang mengajarkan keberlanjutan justru menjadi pelaku
kontradiksi ekologis. Penebangan pohon untuk proyek pembangunan bukan hanya
soal tata ruang, melainkan krisis kesadaran lingkungan di jantung pendidikan
tinggi.
Dalam
pandangan pedagogi kritis, pendidikan seharusnya menjadi ruang
pembebasan—membebaskan manusia dari struktur dominasi dan kesadaran palsu yang
menindas baik manusia maupun alam (Freire, 1970). Namun, ketika kampus abai
terhadap ruang hidup ekologisnya sendiri, pendidikan kehilangan makna
praksisnya. Ia berhenti pada tataran simbolik, menjadikan isu lingkungan
sebagai retorika institusional tanpa keberanian untuk menata ulang relasi
antara manusia, pengetahuan, dan alam.
Pedagogi Kritis dan Ekologi Kesadaran
Pedagogi
kritis menempatkan pendidikan sebagai arena politis yang membentuk kesadaran
(Giroux, 1988). Dalam konteks lingkungan hidup, ini berarti pendidikan tidak
cukup hanya mengajarkan teori ekologi, tetapi harus membentuk ecological
consciousness—kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari sistem kehidupan yang
saling bergantung.
Namun realitas di kampus orange hari ini (baca : fenomena
pembangunan lahan parkir di kampus gunungsari, akses jalan di parangtambung) menunjukkan
kesenjangan antara teori dan praktik. Pohon tidak lagi baca sebagai bagian yang
hidup dan menghidupi, melainkan dianggap sebagai aset administratif, bukan
entitas ekologis. Ketika ruang hijau diukur sebagai indikator pencapaian
proyek, bukan ruang hidup yang harus dijaga, maka kesadaran ekologis telah
direduksi menjadi angka dalam laporan birokrasi.
Dalam perspektif pedagogi kritis, relasi seperti ini
mencerminkan bentuk baru dari ekologis domination: kekuasaan manusia atas alam
yang dilembagakan melalui sistem pengetahuan dan tata kelola. Pendidikan yang
seharusnya membebaskan justru mengulang struktur antroposentris yang menindas
bumi dalam wujudnya yang paling halus—rasional dan administratif.
Hal ini juga
menyalahi beberapa dasar hukum negara tentang lingkungan hidup, dalam suatu prinsip
keberlanjutan memiliki pijakan hukum yang kuat dalam sistem nasional. UUD 1945
Pasal 28H ayat (1) menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat, sedangkan Pasal 33 ayat (4) menegaskan bahwa pembangunan
nasional harus berlandaskan pada prinsip berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Ketentuan tersebut dipertegas oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menempatkan
tanggung jawab ekologis pada seluruh lapisan masyarakat, termasuk lembaga
pendidikan, dalam hal ini kampus yang menjadi sarang para akademisi. Permen
PUPR No. 05/PRT/M/2008 bahkan mengamanatkan bahwa minimal 30% wilayah perkotaan
harus berupa ruang terbuka hijau (RTH). UNM justru memilih diam dan melihat
bangunan phinisi yang kerap berlayar ketika musim hujan datang---menjelma kolam
pendidikan yang menggenangkan air komersialisasi pendidikan belaka : jalan tol
di pettarani adalah dosa ekologi lainnya .
Sebagai
entitas sosial dan moral, kampus semestinya menjadi pelopor implementasi
prinsip tersebut. Namun dalam praktiknya, banyak perguruan tinggi justru
mengabaikan mandat ini dengan alasan efisiensi pembangunan. Ruang terbuka hijau
kerap menjadi korban ekspansi infrastruktur kampus, dan kebijakan lingkungan
direduksi menjadi seremoni tanam pohon tahunan yang lebih menonjolkan citra
daripada kesadaran ekologis.
Kritik terhadap Tata Kelola Kampus: Ekologi yang
Dipolitisasi
Label kampus
pendidikan telah menjadi paradoks baru. Di satu sisi, ia menandakan upaya
kesadaran ekologis; di sisi lain, ia sering menjelma sebagai strategi pemasaran
kelembagaan. Fenomena ini dikenal sebagai greenwashing—penghijauan simbolik
tanpa perubahan struktural.
Tata kelola
kampus yang berorientasi pada citra sering memandang alam sebagai latar
belakang estetis, bukan mitra eksistensial. Keputusan pembangunan ruang fisik
sering diambil tanpa mempertimbangkan etika ekologis atau partisipasi komunitas
akademik. Dalam kerangka pedagogi kritis, hal ini mencerminkan reproduksi
ideologi kapitalistik dalam ruang pendidikan: ketika pengetahuan dikomodifikasi
dan alam direduksi menjadi objek pengelolaan. Ironinya, teori ekologi yang
diajarkan di ruang kuliah kehilangan daya transformatifnya ketika berhadapan
dengan birokrasi yang memprioritaskan efisiensi dan prestise institusional.
Kampus yang semestinya menjadi ruang eksperimentasi moral-ekologis justru
berubah menjadi laboratorium antroposentris—tempat manusia terus mengatur alam
sambil berbicara tentang keberlanjutan.
Untuk keluar
dari krisis ini, pendidikan tinggi perlu melampaui paradigma antroposentris
menuju deep ecology. Arne Naess (1973) menegaskan bahwa setiap makhluk hidup
memiliki nilai intrinsik, terlepas dari kegunaannya bagi manusia. Prinsip ini
menuntut kesetaraan ekologis: manusia bukan penguasa, melainkan bagian dari
jaringan kehidupan yang saling menopang. Dalam bingkai deep ecology, kampus
harus menumbuhkan budaya belajar yang mengakui alam sebagai subjek pengetahuan.
Setiap pohon yang tumbuh di halaman bukan sekadar elemen lanskap, tetapi bagian
dari sistem pengetahuan ekologis. Dengan demikian, penebangan satu pohon bukan
hanya kehilangan estetika, melainkan hilangnya ruang belajar ekologis yang
mengajarkan kesabaran, keteduhan, dan keberlanjutan.
Ironi kampus
yang menebang pohon demi pembangunan gedung “berwawasan lingkungan”
mencerminkan krisis epistemologis: pendidikan tinggi gagal memahami dirinya
sebagai bagian dari ekosistem kehidupan. Pendidikan lingkungan hidup tidak
cukup diajarkan sebagai mata kuliah; ia harus dihidupi dalam setiap kebijakan,
ruang, dan tindakan. Melalui pendekatan pedagogi kritis dan deep ecology,
kampus perlu menata ulang paradigma pengelolaan ruangnya. Ruang terbuka hijau
bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi ekspresi etika ekologis yang mendasar.
Pendidikan sejati bukan hanya tentang mencerdaskan manusia, tetapi juga
memulihkan hubungan manusia dengan bumi. Hanya ketika kampus menyadari
akarnya—secara ekologis maupun moral—pendidikan tinggi benar-benar menjadi
ruang pembebasan bagi seluruh kehidupan. Agar kelak ketika kita berbicara
tentang hubungan manusia dan alam, kejujuran yang hadir bukanlah soal
kerusakan. SELAMAT HARI POHON SEDUNIA.
Makassar, 17 November 2025
@bimbimjugamanusia
Daftar
Pustaka Singkat
- Freire,
P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.
- Giroux,
H. A. (1988). Teachers as Intellectuals: Toward a Critical Pedagogy of
Learning. Greenwood Publishing Group.
- Naess,
A. (1973). The Shallow and the Deep, Long-Range Ecology Movement. Inquiry,
16(1-4), 95–100.
- Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia No. 05/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan.

Komentar
Posting Komentar