Kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi tenaga kerja, tetapi juga mereproduksi dirinya melalui perampasan ruang hidup. Konsep "accumulation by dispossession" (Harvey) dan "cheap nature" (Moore). Konsep "accumulation by dispossession" (akumulasi melalui perampasan) yang dikemukakan oleh David Harvey, merupakan pembaruan dan perluasan dari teori akumulasi primitif (primitive accumulation) dalam pemikiran Karl Marx, dimana David Harvey mengembangkan konsep ini dalam The New Imperialism (2003). Ia berpendapat bahwa proses "akumulasi primitif" bukanlah fase awal kapitalisme yang sudah lewat, tetapi merupakan mekanisme yang terus berlangsung. Dimana ciri-ciri yang di terangkan oleh Harvey sangat memiliki bagian erat dengan fenomena yang terjadi di Raja Ampat sana, menjelaskan bagaimana alam dikomodifikasi demi sirkulasi modal global dalam suatu ulasan singkat tentang kapitalisme ekstraktif. Dimana kapitalisme ekstraktif adalah suatu model ekonomi-politik di mana akumulasi modal dilakukan melalui eksploitasi intensif terhadap sumber daya alam (ekstraksi) dan masyarakat lokal. Proses ini tidak hanya melibatkan produksi tetapi juga perampasan (dispossession) atas tanah, hutan, air, dan hak hidup komunitas. Hal ini dapat pula di baca dengan minimnya peran sentral dari komunitas adat terhadap suatu pembahasan aturan dan menormalisasi pemusnahan ekosistem sebagai suatu alasan “kemajuan”. Demikianlah fenomena yang menjadi fakta hari ini.
Dengan mengandalkan kekuatan negara untuk memudahkan agenda poltik. Kebijakan yang di monopoli, keamanan dalam wajah represi dan seterusnya. Dalam konteks Indonesia, oligarki pada setiap kebijakan semakin menegaskan struktur kekuasaan di mana kekayaan ekonomi diterjemahkan menjadi kekuasaan politik. Negara bukan aktor netral, melainkan fasilitator kepentingan modal elit.
Adapun
beberapa ideologi alternatif yang menjadi otokriktik, seperti Deep ecology yang
menolak berbagai macam narasi antroposentrisme dan menegaskan nilai intrinsik
seluruh makhluk hidup seperti yang negara kerap sodorkan dalam berbagai narasi green
city yang hanya menjadi kedok dari kapitalisme hijau. Sekali lagi, alam
tidak dilihat sebagai alat untuk manusia, tetapi sebagai komunitas moral yang
setara.
Menurut, Bookchin yang menolak baik kapitalisme maupun negara sebagai bentuk dominasi. Ia menawarkan visi masyarakat ekologis yang dibangun atas dasar kesetaraan, mutualisme, dan otonomi komunitas.
Kapitalisme
dan Oligarki di Raja Ampat
Proyek tambang
nikel di Raja Ampat didorong oleh narasi transisi energi dan pembangunan
nasional. Namun, di baliknya terdapat logika ekstraktivisme yang menempatkan
lingkungan dan komunitas lokal sebagai korban. Proyek ini bagian dari ekonomi
hijau global yang justru mengulangi bentuk kolonialisme dengan mengorbankan banyak sektor demi kebutuhan pasar global.
Kasus ini semakin mencerminkan betapa negara berperan aktif dengan menerbitkan
izin usaha pertambangan dan menyederhanakan regulasi demi menarik investor.
Proses ini memperlihatkan persekutuan negara dan oligarki bisnis-politik sebagai
bagian yang seharusnya paling bertanggungjawab akan segala perubahan iklim,
pemanasan global dan segala macam wacana ekologi yang semakin terasa hingga
hari ini, atas segala kebijakan dan keputusan yang di buat hanya berasaskan
pada konflik kepentingan, transparansi rendah, dan kekerasan terhadap warga
menjadi pola umum. Dalam struktur ini, demokrasi hanya menjadi prosedur yang
kehilangan substansi.
Masyarakat adat di Raja Ampat tidak diberi ruang menentukan nasib ruang hidup mereka. Relasi sosial-ekologis yang telah terbangun selama generasi dipinggirkan oleh logika legal-formal milik negara. Ini adalah bentuk penghapusan epistemologi lokal dan dominasi cara pandang modernis. Kearifan lokal dikomodifikasi dalam paket wisata dan program CSR, bukan sebagai basis pengambilan keputusan. Berbagai upaya "reformasi hijau" seperti konservasi berbasis pasar atau tambang berkelanjutan hanya melanggengkan dominasi kapital. CSR dan praktik mitigasi lingkungan bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar masalah: struktur akumulasi modal dan eksklusi politik. Upaya-upaya dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR) hanyalah komitmen perusahaan untuk berperilaku etis dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, sambil meningkatkan kualitas hidup karyawan, komunitas lokal, dan masyarakat luas. CSR mencerminkan tanggung jawab sosial, lingkungan, dan ekonomi perusahaan di luar kewajiban hukum semata---dalam perspektif kritis (seperti pandangan Marxian atau Harvey), CSR kadang dipandang sebagai bentuk "legitimasi moral" atau "greenwashing", yang menutupi praktik eksploitatif perusahaan demi menjaga citra publik dan kelangsungan akumulasi kapital.
Selanjutnya, kedaulatan
komunitas adat atas wilayah hidup mereka harus menjadi prinsip utama. Ini melibatkan pengakuan hukum
adat, penguatan kapasitas komunitas, dan pemulihan ruang deliberasi horizontal.
Demokrasi partisipatoris menjadi alternatif terhadap sistem representasi
liberal yang korup. Paradigma pembangunan harus digantikan dengan paradigma
keberlanjutan yang sejati. Deep ecology memberi dasar etika untuk memulihkan
relasi resiprokal antara manusia dan alam. Pendidikan, media, dan praktik
kebudayaan harus diarahkan untuk membentuk subjek ekologis yang sadar akan
keberlanjutan, bukan sekadar konsumen "hijau".
Tambang di Raja Ampat mencerminkan
krisis struktural yang lebih besar dari sekadar persoalan lingkungan. Ia
adalah gejala dari sistem kapitalisme yang telah bertransformasi menjadi rezim
ekstraktivisme global. Dalam konteks Indonesia, bentuk ini melebur dengan
oligarki lokal yang memperkuat dominasi negara terhadap komunitas. Jalan keluar tidak bisa ditemukan
dalam sistem yang sama yang menciptakan masalah. Diperlukan pembongkaran
struktur sosial-politik dan pembangunan tatanan baru yang berdasarkan
kesetaraan, otonomi, dan keberlanjutan. Harus ada warna baru yang memberi arah
teoritis dan praksis untuk transisi ini. Membebaskan alam berarti membebaskan
masyarakat—dan sebaliknya, barangkali dari perspektif deep ecology atau paham
lainnya.
Makassar, 5 Juni 2025.
Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia
Alviandi (Binocular XXXV)
Humas Periode 2024-2025
Komentar
Posting Komentar