“Bagiku, ada sesuatu yang paling berharga dan
hakiki dalam kehidupan: dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasakan
kedukaan. Tanpa itu semua, kita tidak lebih dari sekadar benda.
Berbahagialah mereka yang masih menyimpan cinta, yang belum kehilangan pusaka
paling bernilai itu. Sebab jika ia lenyap, absurdlah hidup kita.”
~ Soe Hok
Gie, Catatan Seorang Demonstran.

        Kutipan itu menjadi pengantar
yang tepat bagi perjalanan kami. Sore menjelang sunyi, rombongan peserta
Pendidikan dan Pelatihan Lanjutan Angkatan XXXVII “Amor Fati” Sintalaras UNM
tiba di kawasan rimbun bambu, sebuah dusun di Desa Tanete, Kecamatan Simbang,
Kabupaten Maros. Di sinilah proses belajar berlangsung, bukan hanya sebagai
jenjang kaderisasi lembaga, melainkan juga sebagai perjalanan batin dan praksis
sosial-ekologis. 
Diklatjut bukan semata forum
peningkatan keterampilan teknis, melainkan wadah untuk menajamkan kesadaran.
Ketua tim kerja, Andi Misbah—akrab disapa Albedo—menegaskan perbedaan kali ini:
“Kami tidak hanya melahirkan kecakapan teknis, tetapi juga menumbuhkan
kesadaran etis dalam hidup bermasyarakat.” Gagasan ini sejalan dengan
pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan sebagai praksis pembebasan.
Pendidikan sejati lahir dari dialog sejajar dengan rakyat, berpihak pada mereka
yang tertindas, serta melatih kepekaan untuk membaca kenyataan sosial. Oleh
karena itu, kegiatan teknis seperti simulasi pemanjatan dan teknik belay
dipadukan dengan aktivitas melebur bersama masyarakat. 
Para peserta yang tergabung dalam
tim observasi—Sabak, Humus, Perox, Alfisol, dan Podzol—melakukan wawancara
serta pengamatan di Dusun Rumbia, tempat di mana Tebing Mandala berdiri. Dari
sana terungkap gambaran sosial yang tidak selalu tampak di permukaan. Perbedaan
arsitektur rumah warga menjadi simbol kelas sosial yang membelah masyarakat.
Ada keluarga yang mapan, ada pula yang hidup pas-pasan. Namun, dalam
keseharian, gotong royong dan kerja bakti tetap menjadi perekat. Harmoni budaya
tetap dijaga meski ketimpangan ekonomi melukai masing-masing keluarga. 
Dengan sebagian besar warga bertutur
dengan bahasa Konjo, menggantungkan hidup pada ladang dan ternak. Dari salah
seorang warga, kami mendengar kisah asal-usul Tebing Mandala. Dahulu dinamai
Bulu Rumbia, sesuai nama dusun. Namun, sejak tahun 2010-an, seiring ramainya
kegiatan panjat tebing, nama Mandala melekat dan menandai perubahan zaman.
Catatan RefleksiBelajar di Tebing Mandala bukan
hanya soal menguasai peralatan dan teknik petualangan. Ia adalah pelajaran
tentang keberanian menghadapi kenyataan sosial. Seperti yang diingatkan Freire,
keberanian memanjat tebing setinggi apa pun tidak berarti bila kita tak sanggup
menatap jurang ketidakadilan yang membelah masyarakat. Dengan waktu yang
terbatas, mustahil memperoleh data otentik sepenuhnya atau pustaka lengkap.
Namun, pengalaman singkat ini menjadi benih. Benih untuk melatih mata hati,
menajamkan kepekaan, serta menyadari bahwa di balik keindahan tebing, terdapat
kisah tentang luka, perjuangan, dan harapan rakyat. Di sanalah pendidikan
menemukan maknanya: bukan hanya menguasai keterampilan, melainkan juga
keberanian untuk mencintai, merasakan kedukaan, dan berdiri bersama mereka yang
terpinggirkan.
 
Makassar, 09 September 2025
Biro Humas 2024-2025
Alviandi 
 
Komentar
Posting Komentar