"Dunia itu
seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya
dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya."
~Soe Hok Gie
“Pencinta
Alam”, kalimat yang mudah diingat dan dekat dengan kehidupan ; Cinta dan Alam.
Menjadi bagian dari kehidupan manusia dan masyarakat Indonesia hari ini. Tumbuh
menjadi suatu organisasi yang memiliki sikap “politis” dan tegas pada filosofi
ideologis tentang arah warna yang akan di bawahnya dalam membentuk kader dan
individu. Demikian hadirlah Pendidikan dan Pelatihan Lanjutan (Diklatjut)
Angkatan XXXVII “Amor Fati” Sintalaras UNM, sebagai bagian dari pewarisan
semangat pencinta alam menjadi harapan baik dalam penyatuan sikap praktis dan
pemahaman teoritis dalam divisi peminatan Gunung-Hutan : bernavigasi lebih dari
sekedar kemampuan taktis lapangan---melainkan kontrol diri dan pikiran yang
matang dalam menentukan tujuan, beserta segala konsekuensinya.
Kegiatan
yang dilaksanakan selama tiga hari ini di mulai pada hari Jum’at, 19 September
2025. Setelah berangkat dari sekretariat menuju kepelukan dingin kaki Gunung
Bawakaraeng, di kecamatan Tinggimoncong. Bersama delepan orang peserta, dan
beberapa pendamping. Melipir ke arah barat laut Malino, di Kelurahan Gantarang,
Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa.
Ke arah kaki Gunung Bulu Ruku-ruku’ dan melakukan orientasi hingga
akhirnya tim memutuskan untuk camp di dekat aliran sungai kecil sebelum
terlelap dalam sunyi hutan yang menyimpan rahasia dari balik siut
binatang-binatang malam.
Pagi sebelum melakukan perjalanan dan mengejar target untuk summit dan kembali melakukan orientasi medan ke titik berikutnya, yaitu puncak tak bernama dengan elevasi 1.428, muncul sebuah tanya tentang berbagai alasan. Mengapa banyak orang mencari keheningan di gunung dan melahirkan sebuah ironi, tabir dalam keheningan yang justru membuka kebisingan batin. Begitu diam memakan lelah dan suara dunia seakan hilang, gema dalam kepala menjadi lebih keras. Pikiran yang disangka sudah jinak ternyata liar. Kenangan yang dikira telah usai ternyata berulang. Akhirnya sebuah jawaban kembali di uji, tentang gunung yang tidak memberi ketenangan begitu saja. Gunung malah menyingkapkan betapa bisingnya manusia di dalam. Dan hanya dengan melewati kebisingan itu, barulah keheningan sejati bisa disentuh. Seperti menembus kabut: harus tersesat dulu sebelum langit biru kembali terlihat. Demikian kutipan-kutipan tentang pemaknaan sebuah perjalanan seolah menguji setiap alasan pergi dan melangkahkan kaki dalam perjalanan Pendidikan & Pelatihan Lanjutan ini bangkit kembali, seolah tak pernah benar-benar usai ketika sepatu treking dan ransel carrier menemui jalur pendakian---terlahir kembali dengan wajah yang berbeda.
Peserta berhasil menemukan titik berikutnya, yakni puncak Bulu Sarongan juga Bulu Saringang sehingga menyelesaikan misi pendakian 2 malam 2 hari untuk 4 gunung 3 puncak dengan aktualisasi diri dalam ilmu navigasi darat hingga survival. Pendakian alpine dengan medan yang relatif banyak mengaplikasikan teknik scrambling dan sesekali rappeling : jika di perlukan menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh peserta. Selain menguras energi lebih, juga menguji mentalitas yang suatu waktu kerap di anggap sebagai batas kemampuan diri. Persoalan yang di hadapipun pada hari itu berada di antara baju yang bermandi keringat atau pada kabut yang membawa gerimis. Bersama angin sepoi seolah kembali membawa ingatan aroma tubuh yang hangat tentang Paradoks spiritual-metafisis apakah perjalanan ini bukan sekadar permenungan di gunung. Ia adalah gambaran absurd dari hidup itu sendiri. Semakin manusia mengejar abadi, semakin sadar akan fana. Semakin mencari makna, semakin berjumpa dengan absurditas. Semakin ingin bebas, semakin harus tunduk. Gunung hanya mempertegas apa yang selalu ada: bahwa hidup adalah kontradiksi yang tidak bisa diuraikan, hanya bisa dijalani.
Romantisme
pendakian dalam kegiatan ini tidak hanya menghadirkan ruang perjumpaan manusia
dengan alam, tetapi juga menjadi media pendidikan emosional dalam menyingkap
persoalan dan membangun solusi kolektif. Pendakian memang juga kerap berguna
sebagai wadah pembentukan karakter. Sebab, dalam keheningan yang justru menyingkap
kebisingan batin kita belajar bahwa kecerdasan emosi adalah bekal yang sama
pentingnya dengan peta dan kompas. Pendidikan sejati tidak hanya menyimpan
hafalan, tetapi dialog yang memerdekakan—dialog yang mengajarkan kita untuk
mendengar bukan hanya dengan telinga, tetapi juga dengan hati. Gunung lalu
menjelma kelas terbuka: ruang di mana cinta, keberanian, dan kebersamaan
ditempa. Pendidikan yang lahir dari peluh dan napas panjang, dari tawa dan
getir, dari percakapan yang sederhana namun tulus. Pendidikan yang membebaskan
manusia dari belenggu ketakutan, sekaligus mengajarkan bahwa setiap langkah
adalah kesaksian tentang keberanian untuk menjadi manusia seutuhnya.
Makassar,
28 September 2025
Alviandi
(Binocular XXXV) Biro Humas 2024-2025
Komentar
Posting Komentar