Langsung ke konten utama

PERANG DUNIA KETIGA DI DEPAN MATA : MEMBACA DAMPAK EKOLOGI HINGGA NAMA KEMANUSIAAN DI ATAS SEGALANYA.

 


Setelah debu mereda dan senapan bungkam di akhir 1918, Eropa tidak hanya mewarisi luka sosial dan politik, tetapi juga bentang alam yang koyak dan bisu. Padang hijau yang dahulu dihuni oleh burung-burung dan rerumpatan kini menjadi hamparan kawah berlumpur yang tak mengenal musim. Di hutan-hutan yang pernah rindang di Belgia dan Prancis, deretan pohon rebah seperti prajurit gugur tanpa nama. Tanahnya berbau logam dan kematian—terinfeksi oleh senyawa kimia yang ditanam manusia dalam semangat kemenangan.

Sejarah kelam Perang Dunia pertama yang mencatatkan bahwa pada awal abad ke-20, Eropa adalah daratan yang gemetar oleh ambisi dan ilusi keagungan. Kekaisaran-kekaisaran besar—Britania, Austro-Hungaria, Jerman, dan Rusia—berlomba-lomba membentangkan pengaruhnya, tidak hanya melalui diplomasi dan ekonomi, tetapi juga dengan ekspansi militer dan penaklukan wilayah. Dunia dipandang sebagai ruang yang bisa dipetakan, diklaim, dan dieksploitasi. Dalam bingkai sejarah ini, manusia bukan lagi bagian dari jaringan kehidupan, melainkan pusatnya atau dalam satu corak aliran filsafat, narasi ini terkembang pada pemahaman antroposentrisme.

Dan ketika krisis meletus di Sarajevo pada 1914, peristiwa itu hanya menjadi pemicu kecil dalam lautan bara nasionalisme, industrialisme, dan kompetisi imperial yang telah lama membara. Parit-parit panjang yang mengiris bumi seperti luka tak tersembuhkan menjadi penanda bahwa perang bukan sekadar peristiwa politik, melainkan agresi terhadap alam itu sendiri. Di satu sisi, modernitas yang memuja kontrol, dominasi, dan mesin; di sisi lain, dunia lama yang masih menyimpan sisa-sisa keterikatan spiritual dengan tanah dan musim. Perang Dunia Pertama adalah manifestasi dari filsafat antroposentris yang radikal—yang melihat bumi sebagai panggung tempat manusia bertarung, bukan sebagai rumah bersama makhluk hidup lainnya. Lumpur, darah dan logam menciptakan apa yang kemudian disebut manusia sebagai "zona mati"—sebuah istilah yang secara sinis menyingkirkan kenyataan bahwa kehidupan bukan hanya mati secara biologis, tapi juga dimusnahkan secara spiritual. Tanah dikeruk untuk parit dan bunker, sungai-sungai dialihkan demi logistik perang, hutan ditebang untuk membangun peralatan perang. Alam tak hanya menjadi korban, ia bahkan tidak pernah dianggap memiliki suara. Ketika senjata kimia seperti gas klorin dan gas mustard pertama kali digunakan di Ypres, dunia menyaksikan bagaimana pengetahuan ilmiah—yang seharusnya membebaskan—justru dijadikan alat penghancuran masif terhadap manusia dan lingkungan. Racun itu tidak mengenal batas: ia mengendap di tanah, mencemari air, dan membunuh kehidupan mikroskopis yang selama ini menopang kesuburan bumi. Ini bukan hanya kekerasan terhadap tentara lawan, tapi juga kekerasan terhadap jaringan kehidupan yang tak tampak oleh mata telanjang. Demikian dari banyaknya tragedy dan sedikit refleksi umum dengan beberapa tinjauan kritis dalam membaca jejak sejarah, konflik, hingga dampak yang di akibatkan dari perang dunia pertama yang dapat di baca sebagai bentuk dari akar ideologi setiap negara yang berbeda, hingga koalisi tak terelakkan dan meletusnya kembali perang dunia kedua dengan segala kompleksitasnya.

Cermin itu dapat di baca dari dua blok yang ada, Blok Timur dan Blok Barat, atau pada negara-negara yang mengalami “perang saudara” seperti di Korea Selatan & Korea Utara atau pada sis Jerman Barat dan Jerman Timur. Dalam kerangka deep ecology, kita memahami bahwa perang ini tidak terjadi di ruang hampa. Ia lahir dari pandangan dunia yang keliru—pandangan bahwa alam adalah "lain", bahwa kemajuan berarti dominasi, dan bahwa kehidupan manusia lebih tinggi nilainya daripada bentuk kehidupan lain. Deep ecology menolak narasi itu. Ia melihat bahwa akar konflik bukan hanya soal politik atau ekonomi, tetapi juga tentang pemisahan eksistensial antara manusia dan alam. Perang Dunia yang terjadi menjadi gambaran besar: ketika manusia kehilangan rasa hormat terhadap keterhubungannya dengan eksistensi di luar dari dirinya, tanah, udara, dan sesamanya—maka ia tak ragu membakar dunia demi peta baru.

Di balik peta geopolitik yang dipenuhi aliansi dan penjajahan ulang wilayah, mengendap narasi-narasi besar: fasisme yang memuja kemurnian ras dan kekuasaan total, komunisme yang melawan dominasi kapital, serta liberalisme demokratis yang berusaha mempertahankan hegemoni ekonomi. Dunia terbelah bukan hanya oleh perbatasan, tetapi oleh visi tentang masa depan manusia. Banyak ekosistem dihancurkan tanpa pertimbangan regeneratif. Pengeboman total, eksperimen nuklir di Hiroshima dan Nagasaki, serta perusakan massal terhadap lanskap Eropa Timur dan Pasifik, semua menandai bahwa dalam paradigma modern yang memperalat ideologi, alam bukan lagi rumah, melainkan medan tanpa nyawa.

Refleksi ekologis atas perang ini memaksa kita menyadari bahwa pertikaian antar manusia, ketika dilepaskan dari rasa tanggung jawab ekologis, akan selalu membuahkan luka yang tak hanya dialami oleh manusia, tetapi juga oleh bumi yang menopang kita bersama. Jika ketegangan antara Iran dan Israel terus memuncak dan memicu keterlibatan negara-negara besar dalam aliansi militer global, dunia nyaris berada di ambang Perang Dunia Ketiga—sebuah konflik yang tak lagi dibatasi oleh medan tempur konvensional, tetapi merambah ke kota-kota padat, instalasi nuklir, sumber daya air, dan kawasan biodiversitas tinggi. Di tengah era krisis iklim dan kelangkaan energi, perang semacam ini tak hanya menghancurkan tubuh manusia, tetapi juga mencabik-cabik jaringan kehidupan yang tersisa.

Ekosistem rapuh di Timur Tengah, Laut Tengah, dan bahkan Asia Tengah bisa berubah menjadi gurun toksik permanen akibat bom fosfor, serangan siber terhadap infrastruktur air, dan kerusakan nuklir yang melampaui batas geografis. Dalam lanskap ini, kemanusiaan tidak hanya terbunuh oleh peluru, tetapi juga oleh runtuhnya tanah tempat mereka menanam, udara yang mereka hirup, dan sungai yang dulu memberi minum. Maka, para pencinta alam sejati tidak bisa lagi hanya menyuarakan konservasi dan netralitas moral. Dalam semangat yang menolak diam terhadap segala potensi yang dapat di akibatkan, mereka harus menyadari bahwa negara, militer, dan kapital adalah tiga wajah dari mesin perusakan ekosistem. Diam adalah kolaborasi. Alam tidak butuh penyelamat yang patuh, ia butuh pembela yang berani menggoyang akar sistem yang melanggengkan perang. Saat dunia mengarah pada kehancuran, suara hutan harus bergema lewat tangan-tangan manusia yang berani menolak tunduk.

 

Makassar, 21 Juni 2025

Alviandi (Binocular XXXV)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekologi : Membaca Kapitalisme di Raja Ampat dalam Cengkeraman Oligarki

             Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh industri ekstraktif di Raja Ampat bukanlah sekadar tragedi ekologis, melainkan gejala dari sistem kekuasaan yang mengakar. Isu ini tidak dapat dipahami hanya sebagai konflik antara pembangunan dan konservasi, melainkan sebagai bentuk aktual dari kapitalisme global yang beroperasi melalui persekutuan antara negara dan oligarki domestik. Dalam konteks ini, ekologi menjadi medan kuasa tempat eksploitasi sumber daya dan penindasan sosial berjalan beriringan. Tulisan ini bertujuan membongkar struktur kapitalisme di balik proyek tambang nikel di Raja Ampat, serta menunjukkan bagaimana praktik tersebut merepresentasikan bentuk baru kolonialisme yang berkelindan dengan politik oligarki. Lebih jauh, tulisan ini menawarkan pembacaan alternatif melalui lensa deep ecology dan anarkisme ekologi , yang menantang paradigma dominasi terhadap alam dan masyarakat. Kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi ten...

DIKSAR 37 : AMOR FATI DALAM SEBUAH REFLEKSI

"Amor fati: Biarlah itu menjadi cintaku mulai sekarang! Aku tidak ingin berperang melawan apa yang buruk. Aku tidak ingin menuduh; bahkan mereka yang suka menuduh pun tidak akan kutuduh. Menutup mata akan menjadi satu-satunya penolakanku. Dan secara keseluruhan: suatu hari nanti aku ingin menjadi seseorang yang hanya berkata 'ya' terhadap hidup." — Friedrich Nietzsche, The Gay Science      Di tengah pemuda lainnya yang lebih memilih menghabiskan waktu untuk kuliah atau mencari hiburan di mal, warung-warung kopi, dan tempat semacamnya, mereka justru lebih memilih pergi ke alam terbuka yang jauh dari kata nyaman dan mapan. Tak heran jika kemudian ada sebagian orang yang mengidentikkan anak Mapala dengan individu-individu anti kemapanan atau mahasiswa yang dikenal “paling lama” lulus.      Pada awal mula perkembangan kegiatan kepencintaalaman, fokusnya lebih pada kegiatan konservasi, advokasi, dan pendidikan melalui penjelajahan hutan dan gunung. Kegiatan sepe...

Surat Kepada Gie

SURAT KEPADA GIE Apa kabarmu, Gie ? Lama sudah tak ku dengar tentangmu. Tentang cerita-cerita gerakan revolusioner mu yang militan atau sabda sabdamu yang agungkan oleh mahasiswa. Kau sekarang menjadi legenda, Gie. Kisah hidupmu semasa mahasiswa di filmkan. Wajahmu di cetak menjadi ikon gerakan mahasiswa, nama mu menjadi narasi eksistensi kaum akademisi sayap kiri. Dan karya-karya puisimu di sukai banyak mahasiswi. Kau hebat, Gie. Apakah kau mengenal saya ? Pertama kali kau menyapaku dalam bukumu, yang mereka beri judul catatan seorang demonstran. Awalnya, ku kira kau sebagai pedagang Cina yang masuk kuliah di UI, namun mengapa kau tertarik belajar sejarah & sastra. Gie ? Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan Gie, mulai dari alasan kematianmu juga rahasia besar tentang kudeta yang belum sempat kau kabarkan kepada kami, sebelum cinta mengambil nyawa dari jasadmu Gie. Katanya, kau tidak suka Sukarno yang glamor dengan mengawini banyak istri dalam proyeksi Nasakomn...