Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan data, lebih dari 40% penduduknya bergantung pada sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama. Bentang alam Indonesia yang dilalui barisan pegunungan dan iklim tropis yang mendorong pelapukan batuan menjadikan tanahnya subur dan cocok untuk budidaya. Dengan kekayaan alam yang demikian besar, seharusnya Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri—tanpa ketergantungan pada impor bahan pangan dari luar negeri.
Namun, realitas yang dihadapi justru sebaliknya. Negara, melalui berbagai instrumen kekuasaan seperti undang-undang, regulasi, hingga kerja sama dengan investor asing, telah membuka celah yang sangat lebar terhadap eksploitasi sumber daya alam. Tambang, proyek infrastruktur besar, kawasan industri, hingga megaproyek seperti food estate dan Ibu Kota Negara (IKN) menjadi bukti nyata alih fungsi lahan yang masif—mencabut petani dari akarnya, dan mengubah lahan pertanian menjadi aset produktif untuk segelintir kepentingan oligarkis.
Alih fungsi lahan bukanlah sekadar perubahan permukaan bumi; ia adalah pemisahan manusia dari tanahnya, pemisahan yang pada akhirnya menggerogoti jaring kehidupan ekologis. Lahan pertanian yang dulunya hidup dan bernafas kini berubah menjadi zona-zona mati: aspal, beton, dan fasilitas industri. Maka tak mengherankan jika kualitas lingkungan hidup di Indonesia terus menurun, sementara ancaman kekeringan, banjir bandang, dan krisis iklim semakin nyata. Dalam suatu pandangan filsafat mengatakan bahwa, manusia tidak berada di atas alam, tetapi menjadi bagian dari jaringan kehidupan yang saling terhubung. Ketika negara mengubah sawah menjadi jalan tol, atau menggusur kampung demi bandara, yang hancur bukan hanya tanah, melainkan relasi spiritual dan ekologis antara manusia dan bumi.
Kebijakan yang dijalankan negara lebih banyak bertumpu pada pendekatan teknokratik dan eksploitatif. Padahal krisis lingkungan yang kita hadapi adalah krisis etis dan filosofis. Di sinilah “deep ecology” menjadi penting: ia menawarkan cara pandang yang melihat alam bukan sebagai alat atau objek untuk kepentingan manusia, melainkan sebagai jaringan kehidupan yang setara, saling bergantung, dan memiliki nilai intrinsik. Dari sudut ilmu iklim, degradasi lahan mempercepat umpan balik negatif terhadap sistem cuaca. Hutan yang ditebang tidak hanya kehilangan kapasitas menyerap karbon, tetapi juga menghancurkan siklus air lokal. Ketika tanah kehilangan vegetasinya, ia kehilangan kemampuan untuk menyimpan kelembapan. Inilah salah satu pemicu kekeringan yang terjadi lebih panjang dan intens dari waktu ke waktu. Ledakan populasi dan urbanisasi memicu konversi lahan semakin cepat. Wilayah penyangga kota menjadi sasaran empuk proyek-proyek pembangunan yang melucuti sawah, ladang, dan hutan—mengubahnya menjadi pusat perbelanjaan, bandara, kawasan bisnis. Dalam proses ini, petani kehilangan lahannya, sementara tanah kehilangan ruhnya.
Ironisnya, negara yang mengklaim diri sebagai agraris justru memfasilitasi penghilangan lahan-lahan produktif. Maka di tengah krisis pangan global dan ancaman iklim yang semakin parah, mempertahankan lahan pertanian bukan lagi pilihan teknis, melainkan sikap etis. Bukan semata demi “ketahanan pangan”, tetapi sebagai bagian dari etika ekologis yang menjunjung kehidupan dalam bentuk yang paling mendasar. Menghadapi ini, kita perlu lebih dari sekadar reformasi kebijakan. Kita butuh transformasi kesadaran—bahwa tanah, air, dan udara bukan properti negara atau korporasi. Mereka adalah bagian dari komunitas ekologis yang harus dijaga, dihormati, dan dibela.Kita tidak bisa lagi menunggu “niat baik” negara untuk menyelamatkan ekologi. Terlalu banyak bukti bahwa negara lebih setia pada kepentingan modal ketimbang kehidupan warganya. Maka dibutuhkan bentuk perlawanan yang lahir dari bawah: kolektif, otonom, dan tanpa hierarki. Kesadaran ekologis harus dibangun dalam komunitas petani, nelayan, warga kota dan desa, yang tidak sekadar menuntut hak atas tanah, tetapi juga meredefinisi hubungan mereka dengan tanah itu sendiri. Di sinilah kita harus menolak kendali terpusat atas alam, menolak logika industri atas pangan, dan membangun kembali kedaulatan melalui kerja kolektif dan solidaritas lintas kelas. Kebun-kebun komunitas, koperasi pangan, okupasi tanah terlantar, hingga pertanian tanpa tuan bisa menjadi bentuk perlawanan sehari-hari. Di luar pagar negara, di luar jalur pasar.
Krisis agraria dan iklim tidak bisa diselesaikan oleh institusi yang menciptakannya. Kesadaran ekologis bukan hanya tentang menanam pohon atau memilah sampah, tetapi tentang merombak sistem sosial-ekonomi-politik yang membuat kita terasing dari bumi. Masyarakat agraris Indonesia—yang telah lama dieksploitasi dan dimiskinkan—harus mengambil kembali ruang hidupnya. Saat tanah dijual dan langit mengering, perlawanan menjadi satu-satunya bentuk kesetiaan kita pada kehidupan. Dan di antara retakan beton dan kebun yang digusur, benih-benih pemberontakan ekologis sedang tumbuh: liar, tanpa izin, dan tak bisa dihentikan. Selamat mengenang, peringatan hari penanggulangan degradasi lahan dan kekeringan sedunia.
Makassar, 17 Juli 2025
Humas Periode 2024-2025
Komentar
Posting Komentar