Langsung ke konten utama

Sinta dan Larasati: Menyulam Nilai-Nilai Kepencintaalaman dari Naskah Nusantara

    Di balik hiruk pikuk aktivitas pendakian, penjelajahan, dan eksplorasi alam, tersimpan ruang batin yang kerap luput dari perhatian: ruang refleksi, tempat nilai-nilai lahir dan berakar. Dalam tubuh organisasi "kepencintaalaman", aktivitas luar ruang seharusnya bukan sekadar ajang pelampiasan adrenalin atau pencapaian fisik, melainkan arena penempaan karakter, kebijaksanaan, dan kesetiaan pada nilai-nilai yang luhur.

("..... Apakah juga kau nikamati getaran-getaran kehalusan dari makna sebuah kehadiran? 
Apakah kau juga peka pada elusan-elusan tangan-tangan para pencinta?? Ooooooooooh SINTA !Akulah RAMA !!
Tetaplah pada kebeningan hati
Lalu katubkan kedua kelopak matamu dalam hembusan nikmat pagi hari 
Biar sang surya jadi saksi dan penghulu..
Biar kulingkarkan cincin mandala pada tubuhmu..
Biar para angkara murka tak mampu lagi menjamah keasrian tubuhmu..
Agar deru mesin teknologi tak mampu lagi mengotori kelestarian diwajahmu..
Kalau malam ini kutundukkan wajahku
Pada tanah asal kejadianku 
Pada air sumber kehidupanku
Biar dari sana hatiku mendengar 
Tentang riwayat setetes air
Sebelum ia lepas dari sulbi ayah-ayah mereka…!!
Sang Rob bertanya : ALASTU BIRABBIKUM ?
Iapun menjawab : (KAALU BALAA) SYAHIDNA YA ALLAH !
Dari setetes air lalu kujadikan segumpal darah
Lalu segumpal daging, lalu disempurnakan kejadiannya.
Ditiupkan ruh-Nya…" 

(bait-bait puisi: Renungam Bagi Sang Pencinta-oleh Hallaf Hanafi Prasad, pendiri Sintalaras)

        Sintalaras dibentuk dalam kepalan spiritual, didasari kearifan pada refleksi atas ketimpangan. Berdiri teguh dalam keheningan menjadi pelaku peradaban yang mengukuhkan kesetiaan pada nilai, cinta dan tujuan. Nama Sintalaras adalah gabungan dari dua nama yaitu Sinta dan Larasati. Di sinilah peran kebudayaan dan warisan hikayat Nusantara menjadi kekuatan dalam perjalanan SINTALARAS UNM. Tokoh-tokoh seperti Dewi Sinta dari Ramayana dan Larasati dalam tradisi pewayangan Jawa membawa makna yang mendalam dan relevan terhadap dunia kepencintaalaman. Keduanya bukan sekadar tokoh perempuan dalam wiracarita, tetapi juga representasi dari nilai-nilai spiritual, ekologis, dan eksistensial yang melekat kuat dalam identitas Sintalaras.


 

Dewi Sinta: Keteguhan dan Kemurnian dalam Ujian Alam

        Dewi Sinta, dalam kisah Ramayana, digambarkan sebagai sosok perempuan yang tetap setia dan teguh dalam pendiriannya meski diculik dan diasingkan di hutan Alengka. Ia diuji dalam kesendirian, di tengah tekanan kekuasaan dan godaan yang membelokkan integritas. Namun ia tidak menyerah, tidak tergoda, dan tetap menjaga dirinya dengan kesucian hati dan pikiran. Bagi Sintalaras, Sinta adalah cermin dari keteguhan idealisme dalam sunyi. 

        Dewi Sinta dalam kisah Ramayana bukan sekadar figur kesetiaan dalam cinta, tetapi cerminan jiwa yang berjuang mempertahankan keutuhan dirinya di tengah keterasingan alam dan kekuasaan. Ia hidup di dalam hutan, bukan sebagai pelarian, tetapi sebagai bentuk pengasingan eksistensial—suatu ruang liminal tempat nilai-nilai teruji dan jati diri dipertanyakan. Dalam tubuh Sintalaras, Sinta menjelma menjadi simbol perjuangan ekologis yang tidak hanya melindungi alam, tetapi juga melindungi diri dari godaan dekadensi nilai. Seperti Sinta yang bertahan dalam sunyi, anggota organisasi pencinta alam juga dipanggil untuk bertahan dari godaan zaman: popularitas semu, eksploitasi alam atas nama petualangan, dan pergeseran makna eksplorasi menjadi tontonan kosong.

      Sinta adalah suara nurani yang berkata: Jangan ambil lebih dari yang kau butuhkan, jangan ganggu lebih dari yang kau pahami.” Ia mengajarkan bahwa konservasi bukan hanya tindakan luar, tetapi sikap batin—suatu bentuk keteguhan yang memilih untuk tidak melukai meskipun mampu, dan tidak mengeksploitasi meski memiliki kuasa. Dalam perspektif eksistensialis, hutan bukan hanya latar tempat, tapi ruang penciptaan makna. Seperti Sinta yang diuji dalam hening Alengka, pencinta alam pun diuji dalam diamnya rimba: apakah mereka hadir sebagai perusak atau penjaga? Sebagai pengembara yang mencari atau pelarian yang lupa arah? Dewi Sinta memberi pelajaran bahwa menjadi utuh tidak selalu berarti menang, tetapi mampu bertahan dengan integritas meskipun dalam tekanan. Dan dalam dunia yang kian mereduksi makna menjadi citra, Sinta mengingatkan bahwa keberadaan sejati bukan soal tampil, tetapi soal menjadi—menjadi penjaga, perawat, dan saksi dari kelestarian bumi yang sunyi. Banyak anggota Sintalaras yang menemukan dirinya sendiri dalam perjalanan panjang mendaki gunung, melewati lembah, dan mengarungi sungai. Namun sejatinya, perjalanan itu bukan hanya fisik, melainkan juga spiritual. Seperti Dewi Sinta, Sintalaras ditantang untuk tetap menjaga integritas di tengah popularitas, godaan pencitraan, seremonial belaka, dan komersialisasi yang kian melingkupi aktivitas luar ruang hari ini.

 
Larasati: Kearifan Ekologis dari Hutan Madukara

        Berbeda dengan Sinta yang menjalani ujian di tanah asing, Larasati sejak awal memang tumbuh dan hidup di hutan. Dalam kisah pewayangan, ia adalah simbol perempuan yang lembut namun tegas, setia namun tidak takluk, dan memiliki pandangan hidup yang menyatu dengan alam sekitarnya. Larasati mengajarkan tentang kebijaksanaan alamiah, sebuah bentuk pemahaman terhadap siklus hidup, keterhubungan dengan tanah, dan tindakan yang seimbang. 

        Dalam laku Bersintalaras, semangat ini penting agar tidak hanya menjadikan alam sebagai objek petualangan, tetapi juga subjek pembelajaran dan relasi spiritual. Larasati mengingatkan bahwa mencintai alam bisa melalui tindakan kecil, laku sunyi, dan perawatan yang konsisten—sebuah gambaran terhadap sikap ekologis yang mendalam. Dalam jiwa Sintalaras, Larasati menjelma sebagai suara yang mengingatkan: bahwa keluhuran tidak lahir dari keberhasilan teknis atau keberanian fisik semata, tetapi dari budi pekerti yang memahami batas. Ia mengajarkan bahwa mencintai alam adalah soal mengerti kapan harus diam, kapan harus memberi ruang, dan kapan harus mengundurkan diri dengan rendah hati. 

        Di tengah euforia pencapaian ekspedisi dan estetika media sosial, Larasati menjadi penyeimbang—menunjukkan bahwa menjaga alam bukan aksi monumental, melainkan laku harian yang sederhana tapi penuh makna. Membersihkan jalur pendakian, menanam satu pohon, atau bahkan sekadar tidak meninggalkan jejak destruktif—semuanya adalah bentuk nyata dari budi yang luhur. Dalam pandangan eksistensialis, Larasati menghidupkan kesadaran bahwa keberadaan manusia hanya bermakna ketika ia hadir tanpa merusak, ketika ia memahami bahwa eksistensinya bukan pusat semesta, tapi simpul kecil dalam jejaring kehidupan yang luas. Ia membawa pesan bahwa hutan bukan tempat ujian, tapi guru yang membentuk kebajikan. Dan hanya mereka yang memiliki kepekaan batin, yang mampu menangkap pelajaran itu. 

        Larasati adalah pengingat bahwa nilai tidak dibentuk dari suara yang lantang, tapi dari tindakan yang hening namun konsisten. Dalam langkahnya yang lembut, ia mengajarkan bahwa menjadi manusia adalah soal menjadi bijak—bijak dalam mengambil, memberi, dan hadir.


Sinkronisasi Nilai dalam Tubuh Kepecintaalaman 

        Membaca ulang kisah Sinta dan Larasati membawa kita pada refleksi penting: bahwa Sintalaras sejatinya bukan hanya organisasi kegiatan luar ruang dan proses kaderisasi yang ketat, tetapi juga ruang alternatif dari kekakuan kampus—tempat karakter mahasiswa dibentuk secara utuh dan otentik. Dalam konteks ini, Sinta mewakili keteguhan idealisme, dan Larasati mewakili kearifan ekologis yang berkelanjutan. Keduanya menanamkan nilai: Keteguhan dan integritas di tengah ujian (Sinta) ; Keseimbangan dan kearifan dalam berelasi dengan alam (Larasati); Kepemimpinan spiritual dan ekologis, bukan hanya administratif. Maka, nilai-nilai ini perlu dijaga di tengah tantangan organisasi kemahasiswaansaat ini: komersialisasi, kekosongan nilai, dan pencitraan yang dangkal. Kegiatan eksplorasi dan ekspedisi kerap terjebak dalam agenda estetika media sosial, kehilangan makna filosofis, dan berjarak dengan nilai luhur yang dulu diusung para perintis Sintalaras sebagai ruang perlawanan terhadap kekuasaan kampus dan pemerintah yang pragmatis.


Sintalaras: Ruang Estetika Jiwa dan Idealisme

        Mengangkat dan menghidupkan kembali tokoh-tokoh Nusantara bukanlah upaya romantisasi masa lalu, melainkan bagian dari usaha menyambung akar nilai dalam laku organisasi yang semakin modern. Ketika Organisasi pecinta alam mulai diserbu oleh narasi industri pariwisata, komersialisasi gear dan sponsorship, serta eksistensi semu di media sosial, maka kita perlu ruang kontemplasi. Sinta dan Larasati mampu menjadi   reflektor : bahwa kekuatan utama organisasi ini tidak hanya terletak pada fisik yang terlatih, tetapi juga jiwa yang tangguh dan bernilai.


Kembali ke Akar Nilai

"
... Jawablah kalau aku Tanya…!!!
Apa beda ketika aku dalam dekapan rahim ibuku, 
Dengan kini aku dalam dekapan rahim alam lingkunganku ??? 
Jawablah wahai nuraniku yang tak pernah bohong..
Sejujur kebeningan embun pagi yang tak pernah marah…!!! Oooooohh SINTA…
Akulah RAMA..!!
Kau dan aku adalah satu..
Satu dalam makna kehadiran,
Satu dalam makna penampilan,
Karena kau dan aku adalah satu bukti keberadaan SANG PENCIPTA
TERLAHIR DARI HAKEKAT AR-RAHMAN AR-RAHIM."
 

(bait-bait puisi: Renungam Bagi Sang Pencinta-oleh Hallaf Hanafi Prasad, pendiri Sintalaras) 

        Sinta dan Larasati bukan hanya sekedar narasi dalam ide penamaan Sintalaras, tapi juga arketipe. Mereka hidup dalam pikiran, dalam nilai, dalam semangat. Dalam anggota Sintalaras, mereka hadir dalam bentuk keteguhan mendaki tanpa pamer, keberanian menolak eksploitasi alam, dan kerendahan hati merawat lingkungan tanpa pamrih. Sintalaras bukan sekadar organisasi komunitas. Ia adalah ruang alternatif yang merawat nurani, menumbuhkan nilai, dan menjembatani manusia dengan alam secara utuh. Dan dalam ruang itulah, kisah Sinta dan Larasati akan terus hidup—bukan dalam cerita, tetapi dalam laku kita sehari-hari. 


di tulis oleh @tubarimba


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekologi : Membaca Kapitalisme di Raja Ampat dalam Cengkeraman Oligarki

             Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh industri ekstraktif di Raja Ampat bukanlah sekadar tragedi ekologis, melainkan gejala dari sistem kekuasaan yang mengakar. Isu ini tidak dapat dipahami hanya sebagai konflik antara pembangunan dan konservasi, melainkan sebagai bentuk aktual dari kapitalisme global yang beroperasi melalui persekutuan antara negara dan oligarki domestik. Dalam konteks ini, ekologi menjadi medan kuasa tempat eksploitasi sumber daya dan penindasan sosial berjalan beriringan. Tulisan ini bertujuan membongkar struktur kapitalisme di balik proyek tambang nikel di Raja Ampat, serta menunjukkan bagaimana praktik tersebut merepresentasikan bentuk baru kolonialisme yang berkelindan dengan politik oligarki. Lebih jauh, tulisan ini menawarkan pembacaan alternatif melalui lensa deep ecology dan anarkisme ekologi , yang menantang paradigma dominasi terhadap alam dan masyarakat. Kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi ten...

DIKSAR 37 : AMOR FATI DALAM SEBUAH REFLEKSI

"Amor fati: Biarlah itu menjadi cintaku mulai sekarang! Aku tidak ingin berperang melawan apa yang buruk. Aku tidak ingin menuduh; bahkan mereka yang suka menuduh pun tidak akan kutuduh. Menutup mata akan menjadi satu-satunya penolakanku. Dan secara keseluruhan: suatu hari nanti aku ingin menjadi seseorang yang hanya berkata 'ya' terhadap hidup." — Friedrich Nietzsche, The Gay Science      Di tengah pemuda lainnya yang lebih memilih menghabiskan waktu untuk kuliah atau mencari hiburan di mal, warung-warung kopi, dan tempat semacamnya, mereka justru lebih memilih pergi ke alam terbuka yang jauh dari kata nyaman dan mapan. Tak heran jika kemudian ada sebagian orang yang mengidentikkan anak Mapala dengan individu-individu anti kemapanan atau mahasiswa yang dikenal “paling lama” lulus.      Pada awal mula perkembangan kegiatan kepencintaalaman, fokusnya lebih pada kegiatan konservasi, advokasi, dan pendidikan melalui penjelajahan hutan dan gunung. Kegiatan sepe...

Surat Kepada Gie

SURAT KEPADA GIE Apa kabarmu, Gie ? Lama sudah tak ku dengar tentangmu. Tentang cerita-cerita gerakan revolusioner mu yang militan atau sabda sabdamu yang agungkan oleh mahasiswa. Kau sekarang menjadi legenda, Gie. Kisah hidupmu semasa mahasiswa di filmkan. Wajahmu di cetak menjadi ikon gerakan mahasiswa, nama mu menjadi narasi eksistensi kaum akademisi sayap kiri. Dan karya-karya puisimu di sukai banyak mahasiswi. Kau hebat, Gie. Apakah kau mengenal saya ? Pertama kali kau menyapaku dalam bukumu, yang mereka beri judul catatan seorang demonstran. Awalnya, ku kira kau sebagai pedagang Cina yang masuk kuliah di UI, namun mengapa kau tertarik belajar sejarah & sastra. Gie ? Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan Gie, mulai dari alasan kematianmu juga rahasia besar tentang kudeta yang belum sempat kau kabarkan kepada kami, sebelum cinta mengambil nyawa dari jasadmu Gie. Katanya, kau tidak suka Sukarno yang glamor dengan mengawini banyak istri dalam proyeksi Nasakomn...