“Dua kilometer dari pemakan kulit mangga, ‘paduka’ kita mungkin sedang tertawa-tawa, makan-makan, dengan istri-istrinya yang cantik.”
— Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran
Peringatan mayday atau hari buruh sebagai momen reflektif dari kacamata pencinta alam haruslah dengan kesadaran kritis tentang beberapa perbedaan kelas sosial yang terjadi di dalam suatu tatanan masyarakat, terlebih dalam tubuh kelompok pencinta alam itu sendiri.
Sejalan dengan maraknya aktivitas berbasis lapangan--petualangan, seperti tren naik gunung hingga penjelajahan alam bebas lainnya, seharusnya menekankan fungsi dan keterlibatan aktif atau mungkin sikap seperti apa yang di nyatakan oleh kelompok-kelompok, organisasi semacam pencinta alam dalam merespon penyedia jasa ; “buruh gunung”, seperti porter, guide, hingga open trip sekalipun.
Begitupula dengan adanya semacam fenomena akan kebutuhan outdoor yang merupakan salah satu kejadian yang kompleks. Karena peralatan outdoor atau gear dibutuhkan bukan hanya untuk hiking, camping, dan tracking saja. Namun bisa juga untuk kebutuhan sehari-hari misalkan ke kantor, sekolah, dan lain-lain.
Produk seperti di atas diidolakan karena kekuatan dari produknya sendiri, sekaligus menjadi semacam “adu outfit” yang secara tersirat menjelaskan kesenjangan atau mungkin kelas-kelas sosial yang terjadi dalam aktivitas luar ruangan ini---seperti gengsi menggunakan carrier osprey, eiger, hingga brand gear ternama lainnya.
Menurut Shirin dan Hanzaee (2011), pengetahuan produk adalah pengetahuan yang didasarkan pada memori atau pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen. Sedangkan menurut Nitisusatro (2012) hal yang terkait dengan pengetahuan produk adalah pengetahuan tentang karakteristik produk, pengetahuan tentang manfaat produk, pengetahuan tentang resiko mengkonsumsi produk dan pengetahuan tentang kepuasan mengkonsumsi produk.
Hal-hal seperti yang dijelaskan di atas kerap terlupakan oleh demi sebuah citra yang serupa dalam sebuah gagasan yang di lontarkan oleh Jean Baudrillard yang menerangkan bahwa, “Dalam simulasi, bukan realitas yang menjadi landasan utama, melainkan model-model yang ditawarkan media teknologi dan informasi. Model-model itu kemudian dianggap sebagai sesuatu yang nyata, sebagai dunia yang sungguh riil.”dalam buku yang berjudul Simulacra and Simulation.
Dalam lanskap modern pendakian dan kegiatan alam bebas, pertentangan kelas tak lagi hanya berkutat di pabrik atau ladang—ia menjelma dalam bentuk-bentuk baru seperti layanan open trip eksklusif hingga private trip dan dominasi merek-merek perlengkapan outdoor berharga tinggi.
Bagi sebagian buruh atau pekerja informal yang mencintai alam, kegiatan mendaki tak semata soal gaya hidup atau konten media sosial, melainkan bentuk pelarian eksistensial dari penindasan sistemik yang terjadi di dalam dunia modern yang kompetitif. Namun kini, kecintaan itu dipelintir oleh logika kapitalisme yang menjadikan gunung sebagai komoditas dan simbol status sosial.
Paket open trip dengan harga jutaan rupiah, lengkap dengan porter, dokumentasi drone, dan tenda ultralight buatan luar negeri, menciptakan stratifikasi baru di tengah komunitas pencinta alam: antara yang “mampu” membeli pengalaman dan yang hanya bisa menghayatinya secara otentik.
Dari perspektif Marxis, hal semacam itu merupakan bentuk nyata alienasi—ketika alam yang seharusnya menjadi ruang bersama, justru dipagari nilai tukar dan dikendalikan oleh pasar. Dalam kaca mata postmodernisme, semua ini hanya hiperrealitas: simulasi petualangan yang kehilangan makna ekologis sejatinya.
Maka, lahirlah sikap resistensi dari sebagian kelompok pencinta alam akar rumput—yang memilih naik gunung dengan sepatu bolong, menolak jasa berbayar, membawa logistik sendiri, dan memaknai kegiatan itu sebagai laku spiritual-ekologis, selaras dengan prinsip deep ecology.
Bagi mereka, mendaki adalah perlawanan diam terhadap konsumerisme dan kapitalisme lanskap; sebuah seruan sunyi bahwa alam bukan destinasi wisata, melainkan sahabat setara yang harus dihormati, bukan diperdagangkan. Di tengah menjamurnya layanan open trip yang menjanjikan kenyamanan dan efisiensi dalam menjelajahi alam, kelompok pencinta alam yang sadar ekologi mulai mengajukan kritik yang tajam terhadap praktik tersebut.
Kapitalisme telah menyusup masuk ke jantung pegunungan, mengubah pengalaman alamiah menjadi komoditas siap jual yang terstandar dan terpisah dari keaslian. Dalam kerangka deep ecology, alam tidak dilihat sebagai objek wisata atau latar konten media sosial, melainkan sebagai entitas hidup yang setara dan otonom. Melalui pendekatan ini, kelompok pencinta alam menyerukan pembongkaran struktur relasi antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dan alam sebagai alat pemuas.
Di sinilah semangat Nietzsche hadir: kritik terhadap moralitas kawanan (herd morality) yang tunduk pada nilai-nilai massal dan kepalsuan kenyamanan. Nietzsche mendorong individu untuk melampaui nilai-nilai dominan—termasuk ketundukan pada sistem kapitalistik yang mengilusi kebebasan melalui paket-paket petualangan siap saji.
Maka, kelompok ini tidak sekadar menolak open trip karena mahal atau eksklusif, tetapi karena ia menciptakan homogenisasi pengalaman dan menggerus kemampuan manusia untuk berinteraksi secara otentik dengan alam.
Mereka mendorong pendakian mandiri, beretika, dan reflektif, sebagai bentuk transvaluasi nilai—yakni upaya mengganti nilai-nilai palsu (komersialisasi, efisiensi, estetika palsu) dengan nilai hidup yang lebih jujur: keberadaan, keterbatasan, dan kehendak untuk menyatu dengan alam dalam segala ketidakterdugaannya.
Dalam sikap ini, mereka tidak sekadar mendaki gunung, tetapi juga sedang mendaki kesadaran. Seperti apa yang pernah di ucap oleh salah seorang pelopor kegiatan pendakian, yakni Soe Hok Gie bahwa “Lebih Baik Terasingkan Daripada Menyerah Pada Kemunafikan.”
Hal yang di sayangkan justru terjadi di balik megahnya promosi wisata alam dan geliat ekonomi pariwisata pegunungan, terdapat lanskap sunyi ketimpangan yang nyaris luput dari sorotan. Tata kelola gunung—dari level paling bawah seperti basecamp, pengelola jalur pendakian, hingga lembaga negara seperti BKSDA dan Kementerian Lingkungan Hidup—kerap diklaim sebagai bentuk pelestarian berbasis partisipasi.
Kenyataan di lapangan menunjukkan narasi yang berbeda: masyarakat di kaki gunung seringkali hanya menjadi penonton dari geliat ekonomi yang menjanjikan keuntungan besar bagi segelintir elit lokal dan jaringan birokrasi yang tersentralisasi.
Retribusi pendakian yang dikutip atas nama konservasi dan pengembangan wisata jarang kembali dalam bentuk infrastruktur dasar, pendidikan lingkungan, atau pemberdayaan ekonomi warga sekitar. Bahkan, keterlibatan warga lokal sebatas sebagai porter, pemilik warung, atau penyedia jasa parkir, bukan sebagai subjek yang berdaulat atas ruang hidupnya sendiri.
Lebih jauh, pendekatan konservasi negara yang elitis dan teknokratis seringkali mengabaikan kearifan lokal yang telah hidup selama generasi. Mereka dianggap sekadar penghuni informal yang harus "dibina", bukan mitra strategis dalam merawat ekosistem. Alih-alih memberdayakan, kebijakan-kebijakan ini justru mempersempit ruang hidup dan memperbesar ketergantungan warga terhadap skema ekonomi wisata yang rapuh dan eksploitatif.
Di sisi lain, pihak basecamp yang dikelola oleh pemuda desa kadang terjebak dalam logika kapitalisme mikro: mengelola gunung sebagai objek jasa, bukan sebagai ruang hidup ekologis. Kritik tajam pun muncul dari kelompok pencinta alam hingga individu individu yang memiliki semacam kesadaran etik dan kritis—yang melihat bahwa kegagalan sistemik ini bukan sekadar persoalan manajemen, tapi juga bentuk kolonialisasi ruang oleh negara dan pasar.
Dalam refleksi ini, gunung bukan hanya medan fisik yang didaki, melainkan juga medan politik dan etika yang harus dipertanggungjawabkan. Sejahtera bukan berarti ramai pendaki dan padat warung, tapi ketika masyarakat lokal menjadi subjek penuh dari ekosistemnya—berdaulat atas tanah, hutan, air, dan seluruh ruang hidupnya. Tanpa itu, pendakian hanya menjadi ritual estetika kelas menengah, sementara gunung menjadi saksi bisu atas ketidakadilan yang terus dipelihara dari kaki hingga puncaknya.
Di tengah peringatan Hari Buruh yang kembali menggema tahun ini, seharusnya kelompok pencinta alam yang lahir dari realitas pinggiran, dari tubuh-tubuh yang sehari-hari bergulat dengan ketimpangan—baiknya menyuarakan satu kesadaran baru: semacam sikap bahwa pencinta alam pun adalah bagian dari buruh.
Bukan buruh di pabrik-pabrik besar, bukan juga buruh yang diakui dalam hitungan upah minimum. Melainkan adalah buruh dari lanskap yang dikomodifikasi, dari alam yang dipreteli nilainya, dari ruang yang terus-menerus direduksi oleh logika kapital dan estetika industri wisata. Dengan menyaksikan bagaimana open trip menciptakan kasta baru dalam dunia petualangan, menjadikan pendakian bukan lagi laku batin atau praktik ekologis, melainkan konsumsi yang menjauh dari makna.
Sebut saja brand-brand gear menjual "koneksi dengan alam" dalam harga-harga yang tidak lagi menyentuh tangan kami, para pemanggul keril dengan sol sepatu tambal sulam. Kami menyaksikan bagaimana gunung, basecamp, dan jalur-jalur pendakian dikelola tanpa keadilan sosial; bagaimana retribusi dan pengelolaan jalur justru gagal menjawab kemiskinan struktural masyarakat kaki gunung.
Telah banyak menyaksikan bahwa negara, lewat BKSDA dan kementerian-kementerian lainnya, lebih giat menata dokumen konservasi ketimbang mendengar jeritan warga yang hidup dari rerimbunan yang makin disingkirkan.
Tanpa merasa sebagai seorang patriotic dengan cukup kesadaran bahwa saat ini, seharusmya individu-individu, kolektif-kolektif, hingga kelompok-kelompok dari dunia kepencinta alaman baiknya berdiri, bukan sekadar sebagai penikmat senja di puncak gunung, tapi sebagai bagian dari kelas yang disisihkan. Bukan tamu di alam, melainkan bagian darinya.
Bentuk-bentuk penolakan untuk tunduk pada sistem yang memperjualbelikan keterhubungan spiritual manusia dengan bumi. Akan juga melakukan penolakan menjadi konsumen dari petualangan yang dikurasi oleh algoritma dan pasar hingga menolak dilibatkan dalam simulasi kebebasan yang diciptakan kapitalisme wisata.
Dengan menyerukan peringatan Hari Buruh tahun ini sebagai momen untuk merenungkan kembali: bahwa perjuangan kelas tidak berhenti di pabrik atau kantor, tapi juga hadir di jalur pendakian, di warung kaki gunung, di pundak porter yang tak disebut dalam brosur wisata.
Dan di sanalah seharusnya posisi keberpihakan dari individu-individu hingga kelompok-kelompok pencinta alam baiknya bersuara bersama dengan yang tertindas, menyuarakan alam yang dibungkam, dan mengingatkan bahwa membebaskan buruh juga berarti membebaskan alam dari belenggu kapitalisme. Sekali lagi, selamat hari buruh.
Alviandi (Binocular XXXV)
Komentar
Posting Komentar